Minggu, 12 Desember 2010

Tafsir, Ta’wil Dan Terjemah Qur’an

A.Pengertian Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
1.Tafsir
Secara etimologi kata tafsir dalam bahasa arab berarti al-idlah (penjelasan) atau al-tabyin (keterangan).1 Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian.2 Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.3 Tafsir secara bahasa mengikuti wazan ”taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak. Dalam lisanul ’arab dinyatakan: kata ”al-fasr” berarti menyingkapi sesuatu yang tertutup, sedang kata ”at-tarsir” berarti menyingkapi maksud sesuatu lafaz yang musykil, pelik.4 Sebagian ulama’ ada yang mengatakan, bahwa kata tafsir adalah kata kerja terbalik dari kata safara yang juga dapat berarti menyingkapkan.5
2.Ta’wil
Secara etimologi, menurut sebagian ulama’, kata ta’wil memiliki makna yang sama dengan tafsir, yakni ”menerangkan” dan ”menjelaskan”.6 Ta’wil berasal dari kata ”aul ”. Kata tersebut dapat berarti: pertama, al-ruju’ (kembali, mengembalikan) yakni, mengembalikan makna pada proporsi yang sesungguhnya. Kedua, al-shaf (memalingkan) yakni memalingkan suatu lafal yang mempunyai sifat khusus dari makna lahir kepada makna batin lafal itu sendiri karena ada ketepatan atau kecocokan dan keserasian dengan maksud yang dituju. Ketiga, al-siyasah (mensiasati) yakni, bahwa lafal-lafal atau kalimat-kalimat tertentu yang mempunyai sifat khusus memerlukan ”siasat” yang tepat untuk menemukan makna yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ilmu yang luas dan mendalam.7 Selanjutnya pemaknaan ta’wil menurut terminologi adalah memalingkan lafal dari maknanya yang tersurat kepada makna lain (batin) yang dimiliki lafal itu, jika makna lain tersebut dipandang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah.8
Sasaran ta’wil pada umumnya adalah menyangkut ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat yang tidak terang maknanya. Menurut para ulama’ dari kalangan Mutakallimin, ayat-ayat mutasyabihat itu biasanya menyangkut tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Kebalikannya adalah ayat-ayat mukhamat, yaitu ayat-ayat yang tegas dan terang maknanya.9
3.Terjemah
Arti terjemah menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa kebahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa kebahasa lain.10 Menurut muhammad husayn al-Dzahabi, salah seorang pakar dan ahli ilmu al-Qur’an dari Universitas Azhar, Kairo, Mesir, kata tarjamah lazim digunakan untuk dua macam pengertian.
a).Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya tanpa menerangkan makna dari bahasa asal yang diterjemahkan.
b).Menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang lain.
Secara terminologi kata ”terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1)Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama
2)Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.11
B.Perbedaan dan persamaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
1)Perbedaan dan persamaan tafsir dan terjemah
Tarjamah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah atau tidaklah sama dengan tafsir. Atau dengan kata lain, tarjamah tidaklah identik dengan tafsir.12 Oleh karena perlu diketahui inti-inti perbedaan yang prinsip antara kedua istilah tersebut dalam penjabarannya. Perbedaan-perbedaan dimaksud antara lain:
a)Bahasa tafsir dalam prakteknya selalu terdapat keterkaitan dengan bahasa aslinya. Selain itu, dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Pada terjemah yang terjadi atau dilakukan adalah peralihan bahasa, yakni dari bahasa pertama atau yang asli ke bahasa kedua atau terjemah.
b)Dalam tafsir yang diutamakan adalah menyampaikan penjelasan dan pesan dari bahasa aslinya yang pertama. Sedangkan pada terjemah tidak terdapat istithrad, yakni memperluas uraian melebihi kadar mencari padanan kata. Dalam terjemah terutama harfiah, makna yang diungkap tidak lebih dari sekedar mengganti bahasa.
c)Dalam bahasa tafsir yang menjadi pokok perhatian adalah tercapainya penjelasan tepat sasaran baik secara global maupun secara terinci. Tidak demikian halnya dengan terjemah. Ia pada lazimnya mengandung tuntutan terpenuhinya semua makna yang dikehendaki oleh bahasa pertama.13
Dengan memperhatikan pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat dikatakan bahwa antara tafsir dengan terjemah (baik tafsiriyah maupun harfiyah) tersdapat perbedaan yang cukup jelas. Khusus dalam hubungannya dengan upaya pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an, keterangan melalui terjemahnya tentu tidak akan dapat memberikan kejelasan yang memadai.14
Antara tafsir dan terjemah (tafsiriyah) terdapat unsur persamaan. Persamaannya adalah, bahwa baik tafsir maupun terjemah tafsiriyah bertujuan untuk menjelaskan. Tafsir menjelaskan sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan terjemah adalah menjelaskan makna dari bahasa yang tidak dipahami melalui bahasa lain yang dapat dipahami.15
2)Perbedaan dan persamaan tafsir dengan ta’wil
Yang dimaksud dengan perbedaan di sini bukanlah perbedaan dalam dalam srti paradoksal, melainkan perbedaan dilihat dari segi spesifiknya masing-masing dan perbedaan dari sego sifat-sifat keduanya. Namun demikian para ’ulama berbeda pendapat dalam hal memahami perbedaan yang dilihat dari segi sifat-sifat dan spesifikasi tersebut.16
Menurut Abu ’Ubaidah, tafsir dan ta’wil memiliki pengertian yang sama. Tetapi pendapat Abu ’Ubaidah itu ditolak oleh sebagian ’ulama, diantaranya Ibnu habib al-Nisaburiy. Ia mengatakan bahwa para ahli tafsir pada zaman kita, dan bahkan untuk masa selanjutnya telah dan akan berkembang. Jika mereka ditanya mengenai perbedaan tafsir dengan ta’wil maka mereka tidak memberikan penjelasan dengan pasti.17
Untuk lebih jelasnya, secara singkat mengenai perbedaan tafsir dan ta’wil tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:18
Tafsir
•Pemakaiannya banyak terdapat pada lafal-lafal dan leksikologi (mufradat).
•Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
•Banyak berhubungan dengan riwayat.
•Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas, terang).
•Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
Ta’wil
•Penggunaannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimanat.
•Kebanyakan diistimbatkan oleh para ’ulama.
•Lebih banyak berhubungan dengan dirayah (nalar, aqliy).
•Digunakan dalam ayat-ayat mustasyibihat (samar, samar tidak jelas).
•Menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Dengan memperhatikan perbedaan tafsir dan ta’wil sebagaimana dikemukakan oleh para diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, bila ta’wil dikatakan sebagai menafsirkan perkataan dan menjelaskan makna yang tersirat di balik lafal yang tersurat, maka ta’wil dan tafsir asdalah dua kata yang berdekatan atau hampir sama, bila tidak dikatakan sama. Termasuk ke dalam pengertian ini adalah do’a Rasulullah s.a.w untuk ibnu abbas yang berbunyi:
Ya Allah berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama secara mendalam dan ajarkanlah ta’wil kepadanya.19
Atas dasar itulah tampaknya, ’ulama terdahulu termasuk di dalamnya Ibn Jarir al-Thabariy (310 H) memandang sama antara pengertian tafsir dengan ta’wil. Sebaliknya, bila ta’wil dikatakan sebagai menggali esensi dari suatu perkataan yang berada dalam realitas (bukan dalam pikiran), sedang tafsir dikatakan sebagai ”syarah” dan penjelasan bagi suatu perkataan, penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya serta berada dalam lisan (perkataan) dengan ungkapan yang menunjukannya, atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup signifikan.
C.Klasifikasi Tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi
1)Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur meruakan istilah lain dari tafsir bi al-riwayah dan atau tafsir bi al-mangul.20 Tafsir bi al-ma’tsur yaitu menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena berfungsi menjelaskan kitabullah.21 Ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-ma’tsur.
Pertama, al-Qur’an sendiri yang dipandang sebagai penafsiran terbaik terhadap al-Qur’an. Umpamanya, penafsiaran kata muttaqin pada surat al-Imran (3) ayat 133 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya.
Kedua, hadist nabi yang me,amg berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an. Umpamanya, penafsiran nabi terhadap kata ’al-zulm’ pada surat al-An’am (6).
Ketiga, penjelasan sahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui al-Qur’an. Umpamanya, penafsiran ibnu Abbas (68/687) terhadap kandungan surat An-nashr dengan kedekatan waktu kewafatan nabi.
Keempat, penjelasan Tabi’in yang dianggap sebagai orang yang bertemu langsung dengan sahabat.22
2)Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata. Tidak termasuk ini pemahaman (terhadap Qur’an) yang sesuai dengan roh syari’at dan bukti-bukti akan membawa penyimpangan terhadap Kitabullah.
Menafsirkan Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Allah berfirman:
”dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (al-Isra’ [17]:36).
Oleh karena itu, golongan salaf berkeberatan, enggan, untuk menafsirkan Qur’an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui.23
-----------------------------
1.Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘ulumul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1970), h. 37
2.Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 209
3.Al-jurjani, al-Ta’rifat, ath-Thaba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi, jeddah, t.t, h. 63
4.Manna Khalil al-Qattan, mudzakir, Studi Ilmi-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009, cet.12), h. 455
5.Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 311
6.Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘ulumul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1970), h. 74
7.Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 317
8.Rifa’at Syauqi, M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 144
9.Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h.319
10.Poerwadarminta, Kamus Unun Bahasa Indonesia, (jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), h. 1062
11.Manna Khalil al-Qattan, mudzakir, Studi Ilmi-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009, cet.12), h.443
12.Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 333
13.Ibid., h. 334
14.Ibid., h. 337
15.Ibid., h. 334
16.Ibid., h. 327-328
17.Mashuri Sirajuddin Iqbal, A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Angkasa, 1987), h.92
18.Usman, op. Cit., h. 332
19.Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyan fi ‘ulumul al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1970), h. 80
20.Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 338
21.Manna Khalil al-Qattan, mudzakir, Studi Ilmi-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009, cet.12), h. 483
21.Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 217
22.Manna Khalil al-Qattan, mudzakir, Studi Ilmi-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2009, cet.12), h. 488-489

Tidak ada komentar:

Posting Komentar